Indonesia adalah sebuah “harta karun raksasa” bagi naskah-naskah kuno, sebuah warisan budaya tak ternilai yang menjadi jendela untuk memahami sejarah dan peradaban bangsa. Keberadaannya bukan sekadar artefak masa lalu, melainkan referensi vital yang relevansinya membentang hingga kehidupan masa kini dan mendatang. Pentingnya naskah kuno ini bahkan diakui secara hukum melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang menempatkannya sebagai salah satu dari sepuluh Objek Pemajuan Kebudayaan. Dengan koleksi yang melimpah, seperti sekitar 11.000 naskah kuno yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI saja, manuskrip Nusantara menampilkan keragaman luar biasa dalam hal bahan, bentuk, isi, bahasa, dan aksara yang digunakan.
Dari Daun Lontar Hingga Kulit Kayu: Media Tulis Nenek Moyang
Karakteristik paling mendasar dari naskah kuno Indonesia adalah pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia di lingkungan sekitar sebagai media tulis. Nenek moyang di Nusantara menunjukkan kecerdasan ekologis yang luar biasa dengan mengolah berbagai bahan organik menjadi permukaan yang dapat ditulisi dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pilihan material ini tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan, tetapi juga oleh sifat fisik bahan dan tujuan dari naskah itu sendiri. Dari pelepah palem yang kokoh hingga kulit kayu yang lentur, setiap media membawa cerita unik tentang inovasi, adaptasi, dan hubungan mendalam antara manusia dengan alamnya.




Keragaman material ini menciptakan spektrum tekstur, daya tahan, dan format yang sangat kaya. Di satu sisi, ada daun lontar yang membutuhkan proses pengolahan panjang dan ketelitian tinggi untuk diukir, menghasilkan lembaran-lembaran kaku yang diikat menjadi satu. Di sisi lain, ada kulit kayu yang diolah menjadi lembaran panjang dan dilipat seperti akordeon, menciptakan bentuk buku yang sama sekali berbeda. Bahkan bambu, tulang, hingga kertas buatan tangan dari serat tumbuhan lokal turut menjadi saksi bisu lahirnya ribuan karya tulis. Pemahaman terhadap material ini adalah langkah pertama untuk membuka misteri yang terkandung dalam setiap naskah.
Setiap bahan menuntut teknik penulisan yang berbeda dan pada akhirnya memengaruhi bentuk aksara yang digunakan. Misalnya, menulis di atas daun lontar dengan pisau pengukir (pengutik) mendorong perkembangan bentuk huruf yang membulat untuk menghindari sobeknya daun. Sebaliknya, permukaan bambu yang lebih keras memungkinkan goresan yang lebih tajam dan lurus. Dengan demikian, media tulis tidak hanya berfungsi sebagai pembawa pesan, tetapi juga secara aktif membentuk ekspresi visual dari bahasa dan pengetahuan yang direkamnya, sebuah bukti nyata dari kearifan lokal dalam teknologi dan seni.
Lontar dan Nipah: Tulisan Abadi di Pelepah Palma
Salah satu media tulis tertua dan paling ikonik di Nusantara adalah daun lontar. Berasal dari kata Jawa Kuno “ron tal” yang berarti daun pohon tal (Palmyra palm), lontar menjadi media pilihan di banyak wilayah, terutama Bali, Jawa, Lombok, dan Sulawesi Selatan. Penggunaannya yang luas, terutama selama era Kerajaan Majapahit, menjadikan lontar sebagai sinonim dari naskah kuno di sebagian besar Indonesia. Proses pembuatannya sendiri merupakan sebuah seni yang membutuhkan kesabaran dan waktu berbulan-bulan. Daun-daun pilihan harus direbus, dikeringkan, dan dipres untuk menghasilkan permukaan yang rata dan awet sebelum siap untuk ditulisi.
Tidak seperti menulis dengan tinta di atas kertas, informasi pada lontar diabadikan melalui proses pengukiran. Seorang penulis akan menggunakan pisau kecil tajam yang disebut ‘pengutik’ atau ‘pengerupak’ untuk menggoreskan aksara ke permukaan daun. Setelah itu, jelaga atau kemiri bakar yang dihaluskan akan diusapkan ke seluruh permukaan. Partikel hitam ini akan masuk dan menetap di dalam goresan, membuat tulisan menjadi jelas terbaca dengan latar belakang daun yang terang. Teknik ini menghasilkan tulisan yang sangat tahan lama. Menurut para ahli, seperti yang didokumentasikan dalam berbagai studi filologi, sebuah naskah lontar yang dirawat dengan baik dapat bertahan dari beberapa dekade hingga 600 tahun.
Bentuk fisik naskah lontar juga sangat khas. Lembaran-lembaran daun yang sudah ditulisi akan dilubangi di bagian tengah atau di kedua sisinya. Seutas tali kemudian dimasukkan melalui lubang-lubang ini untuk menyatukan semua lembaran, sering kali diapit oleh dua bilah kayu atau bambu sebagai sampulnya (disebut ‘cakepan’ di Bali). Metode penjilidan sederhana namun efektif ini memungkinkan naskah untuk disimpan dengan aman. Di beberapa daerah seperti Lombok, daun nipah juga digunakan dengan cara yang serupa, menunjukkan adaptasi terhadap vegetasi lokal yang tersedia.
Pustaha dan Dluwang: Inovasi dari Kulit Pohon
Selain lontar, kulit kayu merupakan bahan fundamental lainnya dalam tradisi tulis Nusantara. Yang paling terkenal adalah Pustaha, kitab para datu (dukun atau orang pintar) suku Batak di Sumatera Utara. Pustaha dibuat dari lembaran panjang kulit kayu pohon alim (Aquilaria malaccensis) yang dilipat-lipat menyerupai akordeon atau concertina. Bentuk unik ini memungkinkan naskah untuk direntangkan dan dibaca bagian demi bagian, sering kali dengan sampul kayu berukir indah yang melindunginya. Pustaha adalah contoh sempurna bagaimana bentuk fisik sebuah naskah secara langsung berkaitan dengan fungsinya sebagai buku panduan rahasia yang ringkas dan portabel.
Di Jawa dan Madura, inovasi dari kulit kayu menghasilkan jenis media yang berbeda, yaitu dluwang (atau daluang). Bahan ini adalah sejenis kertas buatan tangan yang diproses dari kulit pohon saeh atau paper mulberry (Broussonetia papyrifera). Kulit kayu dipukul-pukul hingga menjadi lembaran tipis yang kemudian dikeringkan. Naskah dluwang biasanya tidak dilipat seperti pustaha, melainkan dipotong menjadi lembaran-lembaran yang kemudian dijahit menjadi satu bundel atau kirei (quire) di bagian punggungnya. Bundelan ini kemudian diberi sampul kulit atau kain, sering kali dengan gaya penjilidan Islam yang menyertakan lidah penutup (envelope flap), yang umum digunakan untuk naskah Al-Qur’an dan kitab-kitab sastra seperti ‘serat’ dan ‘babad’.
Penggunaan kulit kayu tidak terbatas pada dua contoh tersebut. Di Minangkabau, dikenal naskah ‘gelumpai’ yang juga berbasis kulit kayu, sementara di Bengkulu, naskah Ulu ditulis di atas media serupa. Keberadaan berbagai jenis naskah berbasis kulit kayu ini menunjukkan betapa pentingnya pohon sebagai sumber daya, tidak hanya untuk kehidupan sehari-hari tetapi juga untuk pelestarian pengetahuan dan budaya. Setiap teknik pengolahan kulit kayu mencerminkan pengetahuan botani dan keterampilan teknis yang diwariskan secara turun-temurun.
Fitur | Naskah Lontar | Naskah Pustaha (Batak) | Naskah Dluwang (Jawa) |
---|---|---|---|
Bahan Utama | Daun pohon Tal (Palmyra palm) yang dikeringkan. | Kulit kayu pohon Alim (Aquilaria malaccensis). | Kertas buatan tangan dari kulit pohon Paper Mulberry. |
Bentuk Fisik | Lembaran-lembaran kaku yang diikat dengan tali melalui lubang. | Satu lembaran panjang yang dilipat seperti akordeon (concertina). | Lembaran yang dilipat, disusun dalam kirei (quire), dan dijahit. |
Teknik Penulisan | Diukir/digores dengan pisau tajam (pengutik), lalu dihitamkan. | Ditulis dengan tinta menggunakan pena dari ijuk pohon aren. | Ditulis dengan tinta menggunakan pena (kalam). |
Isi Umum | Epos, hukum adat, ritual Hindu, pengobatan, sastra kakawin. | Ilmu gaib (putih & hitam), ramalan, pengobatan, catatan datu. | Teks Islam, sastra (serat), kronik (babad), cerita wayang. |
Aksara Khas | Aksara Bali, Aksara Jawa Kuno, Aksara Lontara (Bugis). | Aksara Batak (Surat Batak). | Aksara Jawa, Aksara Pegon (Jawa-Arab). |
Lebih dari Sekadar Teks: Kandungan dan Tujuan Naskah Kuno
Di masa lalu, kegiatan tulis-menulis bukanlah aktivitas sehari-hari bagi semua orang. Ia sering kali terbatas pada tujuan-tujuan spesifik yang dianggap sakral, penting, atau membutuhkan pencatatan yang akurat. Sementara karya sastra seperti mitos dan legenda lebih sering diturunkan secara lisan, naskah tertulis menjadi wadah untuk pengetahuan yang lebih terstruktur dan esoteris. Kandungan naskah kuno Nusantara sangat beragam, mencakup hampir seluruh aspek kehidupan: mulai dari isu sosial, politik, ekonomi, agama, budaya, bahasa, hingga sastra. Mereka adalah ensiklopedia mini dari peradaban yang melahirkannya.
Setiap jenis naskah sering kali memiliki spesialisasi konten. Naskah Pustaha Batak, misalnya, secara khusus merekam pengetahuan rahasia para datu. Isinya berkisar dari ‘ilmu putih’ seperti resep obat-obatan, jimat pelindung, dan mantra penyembuhan, hingga ‘ilmu hitam’ untuk mencelakai musuh, serta berbagai metode ramalan (divinasi) untuk menentukan hari baik atau menafsirkan mimpi. Di sisi lain, naskah lontar dari Jawa dan Bali banyak berisi teks-teks Hindu, hukum adat, wiracarita (epos) seperti Ramayana dan Mahabharata, serta catatan pengobatan tradisional. Naskah dluwang di Jawa menjadi media utama untuk penyebaran ajaran Islam, penulisan kronik kerajaan (babad), dan karya sastra adiluhung (serat).
Di balik keragaman topik tersebut, terdapat benang merah yang menyatukan banyak naskah Nusantara: tujuan untuk menyampaikan nilai-nilai luhur dari para leluhur kepada generasi penerus. Banyak teks mengandung kearifan lokal yang mendalam, mencakup nilai-nilai moral, solidaritas, gotong royong, harmoni sosial, dan cara penyelesaian konflik. Semangat untuk mencatat pengetahuan berharga inilah yang terus hidup, bahkan dalam bentuk modern seperti jurnal pribadi. Di Hibrkraft, kami percaya bahwa setiap buku catatan kustom adalah pustaha masa kini, sebuah wadah untuk pengetahuan, refleksi, dan warisan pribadi yang tak ternilai harganya.
Estimasi Distribusi Konten Naskah Kuno Nusantara
Aksara dan Bahasa: Jejak Keberagaman Linguistik Indonesia
Kekayaan naskah kuno Indonesia tidak hanya terletak pada bahan dan isinya, tetapi juga pada sistem tulisan (aksara) dan bahasa yang digunakan. Nusantara adalah rumah bagi puluhan aksara daerah yang sebagian besar berakar dari aksara Brahmi India, yang menyebar bersamaan dengan pengaruh Hindu-Buddha berabad-abad lalu. Aksara-aksara ini, yang dikenal sebagai aksara Pallawa-turunan, kemudian berkembang secara lokal menjadi bentuk-bentuk yang unik seperti Aksara Batak, Aksara Jawa, Aksara Bali, Aksara Sunda Kuno, Aksara Lontara (Bugis-Makassar), dan Aksara Rejang di Sumatera.
Setiap aksara memiliki karakteristiknya sendiri, namun banyak yang berbagi fitur umum, seperti bentuk huruf yang cenderung membulat atau melengkung. Para ahli berteori bahwa desain kursif ini merupakan sebuah adaptasi cerdas terhadap media tulis yang paling umum, yaitu daun lontar. Goresan lurus atau bersudut tajam akan berisiko merobek serat daun yang rapuh, sehingga bentuk membulat menjadi solusi teknis yang paling efektif. Ini adalah contoh bagaimana kondisi material secara langsung memengaruhi evolusi bentuk aksara selama ratusan tahun, sebuah interaksi antara alat, media, dan bahasa.
Seiring dengan perubahan sosial dan keagamaan, lanskap linguistik dan aksara di Nusantara pun ikut berubah. Masuknya Islam membawa serta aksara Arab, yang kemudian diadaptasi untuk menuliskan bahasa-bahasa lokal. Proses akulturasi ini melahirkan aksara-aksara baru seperti Aksara Jawi (untuk Bahasa Melayu) dan Aksara Pegon (untuk Bahasa Jawa dan Sunda), yang menambahkan beberapa karakter baru untuk mengakomodasi fonem yang tidak ada dalam bahasa Arab. Keberagaman aksara ini, dari yang berakar di India hingga yang beradaptasi dari Arab, menjadikan naskah kuno Indonesia sebagai laboratorium linguistik yang sangat kaya untuk mempelajari sejarah interaksi budaya di kawasan ini.
Pertanyaan yang Sering Diajukan (FAQ)
Apa itu filologi dan mengapa penting untuk naskah kuno?
Filologi adalah ilmu yang mempelajari naskah-naskah kuno, baik dari segi fisik (kodikologi) maupun isi teksnya (tekstologi). Ilmu ini sangat penting karena membantu kita memahami sejarah dan budaya suatu bangsa melalui peninggalan tertulisnya. Filolog bekerja untuk membaca, menerjemahkan, dan menganalisis teks, serta melacak dan memperbaiki kesalahan yang mungkin terjadi selama proses penyalinan naskah dari masa ke masa, sehingga makna asli dari teks tersebut dapat diungkap dan dilestarikan.
Apa bahan yang paling umum digunakan untuk naskah kuno di Indonesia?
Bahan yang paling umum dan tersebar luas adalah daun lontar (daun pohon tal), terutama di wilayah Jawa, Bali, Lombok, dan Sulawesi. Selain itu, kulit kayu juga merupakan bahan penting, khususnya dalam bentuk Pustaha Batak di Sumatera dan kertas dluwang di Jawa. Penggunaan bahan sangat bergantung pada sumber daya alam yang tersedia di masing-masing daerah.
Apa isi dari naskah Batak yang disebut Pustaha?
Pustaha secara spesifik berisi catatan pengetahuan esoteris atau rahasia dari seorang ‘datu’ (dukun atau ahli spiritual). Isinya mencakup tiga kategori utama: ilmu sihir pelindung (resep obat, jimat), ilmu sihir perusak (untuk menyerang musuh), dan ilmu ramalan (untuk menentukan nasib, hari baik, dan menafsirkan mimpi). Naskah ini ditulis dalam bahasa Batak kuno yang disebut ‘hata poda’ (bahasa petunjuk).
Bagaimana naskah-naskah kuno ini dilestarikan?
Pelestarian dilakukan melalui berbagai cara. Secara tradisional, cara utama adalah dengan menyalin ulang teks ke media baru sebelum naskah asli rusak. Di era modern, upaya pelestarian berfokus pada konservasi fisik untuk mencegah kerusakan dan digitalisasi (pemindaian atau pemotretan) untuk membuat salinan digital. Salinan digital ini kemudian dapat diakses oleh peneliti dan publik melalui platform online, seperti yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan lembaga lainnya.
Berapa lama sebuah naskah lontar bisa bertahan?
Daya tahan sebuah naskah lontar sangat bergantung pada kondisi lingkungan penyimpanan, seperti kelembaban dan suhu. Dalam kondisi yang ideal, naskah lontar dapat bertahan hingga sekitar 600 tahun. Namun, dalam kondisi yang kurang baik, naskah ini bisa rusak atau lapuk hanya dalam beberapa dekade. Karena sifat organiknya yang rentan, penyalinan berkala menjadi kunci utama kelestarian teks-teks lontar di masa lalu.
Referensi
- Mengenal Naskah Kuno Nusantara – Perpustakaan Nasional RI
- Mengenal Naskah Kuno Nusantara dan Upaya Pelestariannya – Kemdikbud
- Karakteristik Naskah Batak – ResearchGate
- Batak manuscripts in the British Library – British Library Blogs
- Lontar – Wikipedia

Custom Notebook
Capture your unique heritage and personal wisdom. Our custom notebooks, inspired by Indonesia’s rich manuscript traditions and diverse natural materials, provide a beautiful canvas for your thoughts and legacy.
Abadikan warisan unik dan kearifan pribadi Anda. Buku catatan kustom kami, terinspirasi dari tradisi naskah Indonesia yang kaya dan beragam material alami, menyediakan kanvas indah untuk pikiran dan warisan Anda.

Business & Whitelabel
Infuse your brand with timeless value and exquisite craftsmanship. Our business and whitelabel solutions draw inspiration from Indonesia’s ancient manuscripts, offering unique quality and a distinguished legacy.
Suntikkan nilai abadi dan keahlian indah pada merek Anda. Solusi bisnis dan whitelabel kami mengambil inspirasi dari naskah kuno Indonesia, menawarkan kualitas unik dan warisan yang terhormat.

Book Repair & Conservation
Preserve invaluable cultural treasures. We offer expert book repair and conservation, meticulously restoring delicate manuscripts and historical documents with the care they deserve, safeguarding Indonesia’s heritage.
Lestarikan harta karun budaya yang tak ternilai. Kami menawarkan perbaikan dan konservasi buku ahli, memulihkan naskah halus dan dokumen bersejarah dengan cermat sesuai kebutuhan mereka, menjaga warisan Indonesia.