Industri sepatu Indonesia bukan sekadar cerita tentang produksi massal, tetapi sebuah perjalanan panjang yang menggabungkan warisan budaya, keterampilan tangan, dan ambisi global. Dari awal mula di Cibaduyut, Bandung, hingga menjadi salah satu dari sepuluh produsen sepatu terbesar di dunia, industri ini telah menunjukkan ketangguhan dan kreativitas yang luar biasa. Artikel ini akan membawa Anda menelusuri sejarah industri sepatu Indonesia, teknik tradisional yang masih dijunjung, hingga tantangan modern yang membentuk masa depannya. Semua dengan semangat untuk menginspirasi Anda menghargai keindahan kerajinan lokal.
TL;DR. Industri sepatu Indonesia berakar dari tradisi pengrajin di Cibaduyut sejak 1920-an, dipengaruhi oleh teknik Belanda dan pengusaha Tionghoa. Kini, Indonesia adalah eksportir sepatu terbesar keenam dunia dengan pangsa pasar 3,99%, terkenal akan teknik tradisional seperti hand welting dan penggunaan kulit vegetable-tanned. Meski menghadapi tantangan seperti melemahnya permintaan ekspor dan persaingan impor, industri ini terus berkembang dengan dukungan investasi besar dan adaptasi digital.
Sejarah dan Latar Belakang Industri Sepatu Indonesia
Akar Tradisional di Cibaduyut
Industri sepatu Indonesia dimulai jauh sebelum era digital, tepatnya sekitar tahun 1920-an di Cibaduyut, Bandung. Pengaruh kolonial Belanda memperkenalkan teknik pembuatan sepatu ala Eropa, sementara pengusaha Tionghoa mendirikan bengkel-bengkel sepatu yang menjadi cikal bakal pusat kerajinan ini. Awalnya, mantan pekerja pabrik sepatu memulai usaha kecil-kecilan di rumah, melibatkan keluarga dan tetangga. Keterampilan ini menyebar cepat, dan pada 1940, Cibaduyut sudah terkenal dengan kualitas sepatu yang konsisten dan model yang disukai pembeli, dengan 89 pengrajin aktif dan pesanan yang membeludak.
Pada 1950, jumlah usaha sepatu di wilayah ini melonjak menjadi 250 unit. Pemerintah Indonesia turut mendukung pertumbuhan ini melalui pembentukan Unit Pelayanan Teknis (UPT) pada 1978, yang menyediakan pelatihan, fasilitas, dan bimbingan jangka panjang. Bandung, sebagai “surga sepatu lokal” dan pusat kreatif Indonesia, terus memperkuat reputasinya sebagai jantung industri sepatu nasional.
Teknik Tradisional: Jiwa Kerajinan Indonesia
Salah satu daya tarik utama industri sepatu Indonesia adalah penggunaan teknik tradisional seperti hand lasting dan hand welting, yang kini jarang ditemukan di negara lain karena digantikan mesin. Teknik hand welting, misalnya, menggunakan benang kontinu untuk menyatukan bagian sepatu, menghasilkan produk yang lebih tahan lama dan mudah diperbaiki dibandingkan sepatu buatan mesin. Hand lasting memungkinkan kontrol ketegangan kulit yang lebih baik, menciptakan sepatu yang nyaman dan tahan lama.
Pengrajin Indonesia, terutama di Bandung, juga dikenal menggunakan kulit vegetable-tanned dari daerah seperti Garut dan Magetan, serta kulit premium seperti horsehide dari Maryam Tannery atau Shell Cordovan dari Horween. Kulit ini lebih tebal, kuat, dan menghasilkan patina indah seiring waktu, menjadikannya favorit para penggemar sepatu artisanal. Teknik dan bahan ini mencerminkan komitmen pada “cara kuno” yang menonjolkan seni dan keahlian.
Pertumbuhan Global dan Pengakuan
Hari ini, Indonesia adalah kekuatan global di industri sepatu, menduduki peringkat keenam sebagai eksportir dunia dengan pangsa pasar 3,99%. Pada kuartal pertama 2025, industri ini tumbuh 6,95%, menyerap 961.000 pekerja dan menarik investasi Rp8 triliun dari 12 perusahaan besar. Wilayah seperti Jombang, Mojokerto, Malang, Sidoarjo, dan Magetan juga menjadi pusat produksi penting di samping Cibaduyut. Produk sepatu Indonesia dikenal kompetitif dan percaya diri di pasar global, diekspor ke negara-negara seperti Brunei, Jerman, Belanda, UEA, Kanada, dan Australia.

Tantangan di Era Modern
Meski sukses, industri ini menghadapi tantangan serius. Permintaan ekspor melemah akibat tekanan ekonomi global, sementara pasar domestik tertekan oleh masuknya produk impor. Faktor geopolitik, seperti konflik di Timur Tengah, dan pelemahan nilai tukar rupiah turut memengaruhi daya saing. Beberapa perusahaan, seperti Bata dan Dean Shoes PT, terpaksa tutup atau melakukan PHK besar-besaran karena kenaikan upah minimum di Jawa Barat dan Timur. Untuk mengatasi ini, beberapa produsen beralih ke Jawa Tengah, di mana biaya tenaga kerja lebih rendah (sekitar $200 USD/bulan dibandingkan $400 USD di Jawa Barat dan Timur).
Namun, industri ini beradaptasi dengan memanfaatkan dunia digital.
Banyak merek, seperti Sagara Indonesia, menggunakan Instagram dan situs web untuk menerima pesanan, menarik pelanggan internasional, khususnya dari Amerika yang menghargai kerajinan tangan dan bersedia menunggu proses produksi yang memakan waktu. Adaptasi ini menunjukkan bagaimana industri sepatu Indonesia menyeimbangkan tradisi dengan inovasi.

Seorang pengrajin Indonesia sedang membuat sepatu kulit dengan teknik tradisional, mencerminkan keahlian dan dedikasi.
Warisan dan Masa Depan
Industri sepatu Indonesia adalah perpaduan harmonis antara warisan budaya dan ambisi global. Dari bengkel kecil di Cibaduyut hingga panggung dunia, pengrajin Indonesia telah menunjukkan bahwa kualitas dan kreativitas dapat bersaing di pasar internasional. Meski menghadapi tantangan, semangat untuk melestarikan teknik tradisional sambil merangkul teknologi modern menjadikan industri ini inspirasi bagi para pencinta kerajinan.

Temukan keindahan kerajinan tangan dengan jurnal kulit premium dari Hibrkraft. Buat cerita Anda sendiri hari ini!
Buat Jurnal Kustom Anda Sekarang
Mengabadikan Cerita melalui Kerajinan
Industri sepatu Indonesia adalah bukti nyata bagaimana tradisi dapat hidup berdampingan dengan inovasi. Dari teknik hand welting yang penuh seni hingga keberanian bersaing di pasar global, pengrajin Indonesia terus menulis cerita mereka dengan setiap jahitan. Untuk Anda yang menghargai keindahan kerajinan tangan, mengapa tidak memulai perjalanan Anda sendiri? Abadikan ide dan inspirasi Anda dengan jurnal kulit premium dari Hibrkraft, teman setia untuk setiap langkah kreatif Anda.
Mulai Menulis Cerita Anda dengan Jurnal Kustom Hibrkraft
Sumber gambar: Kompas