Dari Perjalanan, Lahirlah Puisi
Kita pernah melihat jurnal ini di ketinggian 30.000 kaki, menjadi jangkar di atas meja lipat pesawat yang sempit. Saat itu, ia adalah sebuah janji. Sebuah potensi. Sebuah kanvas yang masih menunggu.
Dan inilah kelanjutannya. Momen ‘setelahnya’. Foto dari @pgandina ini menunjukkan kepada kita apa yang terjadi ketika perjalanan itu berakhir. Halaman pertama yang terbuka. Sebuah puisi berjudul “Jarak Rindu.”
Wadah untuk Sebuah Kerinduan
Jurnal ini tidak lagi menjadi objek yang kami buat. Ia telah menjadi sebuah wadah. Sebuah ruang aman untuk perasaan yang begitu personal dan rapuh. Lihatlah tulisan tangan itu. Setiap hurufnya adalah jejak dari sebuah pikiran, sebuah emosi yang lahir dari jarak.
Aku ngerasa, di sinilah pekerjaan kami benar-benar selesai. Bukan saat jurnal itu terjual. Bukan saat ia dipotret dengan indah. Tapi saat ia menjadi saksi bisu dari sebuah puisi seperti ini. Saat ia dipercaya untuk menyimpan sesuatu yang begitu berarti.


Lebih dari Sekadar Kertas
Kain tradisional yang menemaninya dalam perjalanan kini menjadi pembatas halaman, seolah menjaga agar perasaan itu tidak tumpah. Pena yang sama kini telah menyelesaikan tugasnya. Semua elemen dalam foto sebelumnya, kini telah memenuhi takdirnya masing-masing.
Ini adalah pengingat yang begitu kuat bagi kami. Kami tidak menjual kulit. Kami tidak menjual kertas.
Kami menjual ruang kosong yang bisa menampung beratnya sebuah kerinduan.
Melihat “Jarak Rindu” tertulis di atas kertas yang kami siapkan adalah sebuah kehormatan yang tak terhingga. Terima kasih, @pgandina, telah menunjukkan kepada kami bukan hanya bagaimana produk kami terlihat, tapi bagaimana ia hidup dan bernapas bersamamu.
Rindumu, ceritamu, perasaanmu… mereka layak mendapatkan rumah. Temukan rumah yang tepat di sini.