Di balik setiap tas atau sepatu kulit yang menawan dari sentra kerajinan seperti Manding, Yogyakarta, ada sebuah cerita yang seringkali tak terlihat: sebuah kisah tentang proses produksi yang berakar kuat pada tradisi. Namun, apa yang terdengar romantis sebagai “proses manufaktur kuno” seringkali menjadi belenggu yang menghambat produktivitas, inovasi, dan daya saing. Ketergantungan pada metode-metode lama ini merupakan salah satu manifestasi paling nyata dari “keterbatasan sumber daya produktif” yang menjerat Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di sektor ini. Artikel ini akan membedah secara mendalam mengapa ketergantungan ini terjadi, bagaimana dampak nyatanya di lapangan, dan mengapa modernisasi bukan berarti kehilangan jiwa, melainkan sebuah langkah krusial untuk bertahan di panggung global.
Romantisme Tradisi vs. Realitas Produksi: Mengapa Proses Kuno Menjadi Beban
Ada pesona yang tak terbantahkan dalam kata “tradisional” atau “buatan tangan”. Ia membangkitkan citra seorang pengrajin yang tekun, bekerja dengan peralatan warisan, mencurahkan seluruh jiwa dan raganya ke dalam setiap produk. Namun, ketika kita berbicara dalam konteks industri dan daya saing pasar, romantisme ini seringkali bertabrakan dengan realitas yang pahit. Ketergantungan pada proses manufaktur kuno menjadi salah satu hambatan terbesar yang dihadapi UKM kulit di Indonesia.
Data menunjukkan gambaran yang jelas. Industri pengolahan kulit adalah proses yang kompleks, melibatkan setidaknya 23 langkah berbeda untuk mengubah kulit mentah menjadi bahan jadi yang siap digunakan. Namun, sekitar 70-75% dari unit penyamakan kulit di Indonesia masih tergolong sebagai industri rumahan atau “cottage industry”, yang sangat bergantung pada tenaga manusia untuk melakukan setiap langkah secara manual. Hanya sekitar 25-30% pemain skala menengah hingga besar yang memiliki peralatan memadai untuk mengotomatisasi langkah-langkah kritis seperti pemotongan, peregangan, pewarnaan, dan pengamplasan (buffing).
Bagi UKM di Manding, ini adalah kenyataan sehari-hari. Mereka beroperasi dengan metode yang diwariskan dari generasi ke generasi. Meskipun ini melestarikan warisan budaya, dari sudut pandang bisnis, ia menciptakan serangkaian masalah yang saling terkait.
Kerumitan Proses yang Tidak Efisien
Proses penyamakan dan pembuatan produk kulit secara tradisional sangat padat karya dan memakan waktu. Secara garis besar, prosesnya dapat dibagi menjadi tiga tahap utama:
- Tahap Pra-Penyamakan (Beamhouse Operations): Ini adalah tahap pembersihan kulit mentah, meliputi perendaman, pengapuran (untuk menghilangkan bulu dan epidermis), pembuangan daging (fleshing), dan pembelahan (splitting). Dilakukan secara manual, tahap ini memerlukan tenaga fisik yang luar biasa dan waktu yang lama.
- Tahap Penyamakan (Tanning): Ini adalah proses inti di mana kulit diawetkan secara kimiawi untuk mencegah pembusukan dan membuatnya stabil. Baik menggunakan metode samak nabati (vegetable tanning) maupun samak krom (chrome tanning), proses manual memerlukan perendaman dalam drum atau bak besar, dengan pemantauan dan pembalikan yang seringkali dilakukan dengan tangan.
- Tahap Pasca-Penyamakan dan Finishing: Setelah disamak, kulit harus dikeringkan, dilemaskan, diwarnai, diminyaki, dan diberi lapisan akhir (finishing). Setiap langkah ini, jika dilakukan tanpa mesin modern, sangat bergantung pada keterampilan individu dan kondisi cuaca, yang menyebabkan inkonsistensi hasil.
Ketergantungan pada proses manual di setiap tahapan ini bukan hanya memperlambat produksi, tetapi juga membuka ruang yang sangat besar untuk variasi dan kesalahan manusia, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas dan daya saing produk akhir.
Efek Domino dari Proses yang Usang: Dari Ruang Produksi ke Etalase Pasar
Penggunaan proses manufaktur kuno menciptakan efek domino yang merambat dari ruang produksi hingga ke kemampuan UKM untuk bersaing di pasar. Konsekuensinya sangat nyata dan terukur.
1. Pasokan Terbatas dan Minimnya Variasi Produk
Konsekuensi paling langsung dari proses manual adalah kapasitas produksi yang rendah. Sebuah UKM mungkin hanya mampu menghasilkan beberapa tas atau puluhan pasang sepatu dalam seminggu. Hal ini membuat mereka kesulitan untuk memenuhi pesanan dalam jumlah besar atau pesanan dengan tenggat waktu yang ketat, menutup pintu mereka dari peluang pasar yang lebih luas seperti pengadaan korporat atau kemitraan dengan ritel besar. Selain itu, kurangnya variasi produk juga menjadi masalah serius. Tanpa peralatan modern seperti mesin potong presisi atau cetakan (moulding), menciptakan desain baru yang rumit menjadi sangat sulit, mahal, dan memakan waktu. Akibatnya, banyak UKM yang cenderung memproduksi model yang itu-itu saja, yang sudah mereka kuasai, membuat produk mereka terlihat monoton dan tertinggal dari tren.
2. Produk yang Tidak Kompetitif di Pasar
Kombinasi dari kualitas yang tidak konsisten, waktu produksi yang lama, dan biaya tenaga kerja per unit yang tinggi pada akhirnya membuat produk mereka menjadi tidak kompetitif. Mereka mungkin kalah harga dari produk impor massal yang diproduksi dengan mesin, dan kalah kualitas atau desain dari merek-merek premium yang menggunakan teknologi canggih. Mereka terperangkap di tengah: tidak cukup murah untuk pasar massal, dan tidak cukup inovatif atau berkualitas konsisten untuk pasar premium.
3. Keterkaitan dengan Metode Tradisional di Hulu
Masalah ini tidak hanya terjadi di tingkat UKM pengolah kulit. Ia juga terkait erat dengan kondisi di sektor hulu. Industri peternakan di Indonesia, yang menjadi sumber utama kulit mentah, masih didominasi oleh peternakan skala kecil dengan metode yang sangat tradisional. Hal ini menyebabkan kapasitas produksi kulit mentah dalam negeri sangat rendah dan seringkali dengan kualitas yang tidak seragam. Keterbatasan di hulu ini memaksa industri pengolahan, termasuk UKM, untuk bergantung pada impor bahan baku, yang menambah biaya dan kerumitan, semakin menekan daya saing mereka.
Aspek Produksi | Proses Manufaktur Kuno (UKM Tradisional) | Proses Manufaktur Modern | Dampak pada Daya Saing |
---|---|---|---|
Desain & Pola | Manual dengan tangan, coba-coba (trial and error). | Menggunakan software CAD/CAM untuk presisi, pemotongan dengan laser. | Proses kuno lambat, sulit membuat desain kompleks, dan tidak presisi. |
Kapasitas Produksi | Sangat terbatas, sangat bergantung pada jumlah tenaga kerja. | Tinggi dan terukur, dapat diskalakan sesuai permintaan. | Proses kuno tidak bisa memenuhi pesanan dalam jumlah besar. |
Konsistensi Kualitas | Bervariasi, sangat tergantung pada keterampilan individu pengrajin. | Sangat konsisten, dikontrol oleh mesin dan standar operasional. | Proses kuno sulit menjaga standar kualitas yang seragam. |
Biaya per Unit | Cenderung tinggi karena padat karya dan waktu produksi yang lama. | Lebih rendah dalam produksi skala besar karena efisiensi mesin. | Proses kuno membuat harga produk sulit bersaing. |
Inovasi Produk | Jarang terjadi, risiko tinggi untuk mencoba model baru. | Cepat dan mudah untuk membuat prototipe dan meluncurkan produk baru. | Proses kuno membuat UKM tertinggal dari tren pasar. |
Terjebak dalam Tradisi: Mengapa Inovasi Begitu Sulit Diterapkan?
Pertanyaannya kemudian adalah, jika ketergantungan pada proses kuno ini begitu merugikan, mengapa para UKM tidak beralih ke metode yang lebih modern? Jawabannya kompleks dan berakar pada serangkaian keterbatasan yang saling terkait.
Faktor utama, sebagaimana diungkapkan oleh para pelaku usaha di Manding, adalah bahwa mereka tidak melihat inovasi sebagai bagian dari strategi bisnis mereka. Inovasi dianggap sebagai sesuatu yang mahal, berisiko, dan berada di luar jangkauan mereka. Sikap ini bukanlah lahir dari kemalasan, melainkan dari kondisi nyata yang mereka hadapi:
- Kendala Modal: Untuk membeli satu mesin modern saja bisa memerlukan investasi puluhan hingga ratusan juta rupiah. Tanpa akses ke lembaga keuangan, modal sebesar ini hanyalah sebuah mimpi.
- Kesenjangan Keterampilan: Mengoperasikan mesin modern memerlukan pelatihan dan keterampilan baru yang tidak dimiliki oleh tenaga kerja yang ada. Ada ketakutan bahwa teknologi justru akan menggantikan mereka.
- Manajemen Tradisional: Pola pikir “yang penting hari ini bisa produksi dan makan” lebih dominan daripada visi pertumbuhan jangka panjang. Tidak ada alokasi sumber daya untuk riset dan pengembangan.
- Kurangnya Informasi: Banyak UKM yang bahkan tidak tahu teknologi apa yang tersedia atau bagaimana teknologi tersebut bisa membantu bisnis mereka. Mereka terisolasi dari perkembangan industri di luar komunitas mereka.
Akibatnya, mereka terjebak dalam sebuah lingkaran setan: proses kuno menyebabkan pendapatan rendah, pendapatan rendah membuat tidak ada modal untuk modernisasi, dan tanpa modernisasi, mereka akan terus terperangkap dalam proses kuno.
Jalan Keluar: Modernisasi Bukan Berarti Kehilangan Jiwa
Untuk bisa memutus lingkaran setan ini, diperlukan sebuah pergeseran paradigma. Modernisasi tidak harus berarti mengganti seluruh proses dengan robot dan menghilangkan sentuhan tangan manusia. Sebaliknya, ini tentang adopsi teknologi yang cerdas dan selektif untuk meningkatkan efisiensi pada langkah-langkah yang paling kritis, sambil tetap mempertahankan nilai keahlian tangan pada proses finishing atau detail yang menjadi ciri khas produk.
Strategi yang disarankan untuk meningkatkan daya saing meliputi:
- Adopsi Teknologi Informasi: Ini adalah langkah awal yang paling terjangkau. Menggunakan media sosial untuk pemasaran, aplikasi akuntansi sederhana untuk manajemen keuangan, atau bahkan WhatsApp untuk berkomunikasi dengan pemasok dan pelanggan dapat secara drastis mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi.
- Inovasi Bertahap: Tidak perlu langsung membeli mesin paling canggih. Modernisasi bisa dimulai dari hal kecil, seperti menggunakan alat potong pola (pattern cutter) yang lebih baik, atau mengadopsi teknik pewarnaan baru yang lebih cepat dan ramah lingkungan.
- Kolaborasi dan Jaringan: Bergabung dalam sebuah klaster atau koperasi dapat memberikan kekuatan kolektif. UKM bisa bersama-sama membeli bahan baku dalam jumlah besar untuk mendapatkan harga lebih baik, atau bahkan berbagi penggunaan satu mesin mahal yang tidak mungkin dibeli secara perorangan.
Pemerintah dan lembaga terkait juga memiliki peran krusial dalam menyediakan pelatihan, memfasilitasi akses terhadap teknologi dan pembiayaan, serta membangun jembatan antara UKM dengan pasar yang lebih luas. Dengan pendekatan yang tepat, proses manufaktur kuno dapat berevolusi, bukan ditinggalkan. Ia bisa menjadi fondasi dari sebuah produk yang unik, yang menggabungkan efisiensi mesin dengan keindahan dan jiwa dari sentuhan tangan manusia.
Pertanyaan yang Sering Diajukan (FAQ)
Bukankah “proses manufaktur kuno” dan “handmade” adalah nilai jual utama dari produk kerajinan?
Benar, “handmade” adalah nilai jual yang sangat kuat. Namun, ada perbedaan antara proses yang sepenuhnya manual karena keterbatasan, dengan proses yang secara sadar mempertahankan sentuhan tangan pada tahap-tahap tertentu untuk alasan estetika. Tantangan bagi UKM adalah banyak proses mereka yang kuno karena tidak ada pilihan lain, yang berakibat pada inefisiensi dan kualitas yang tidak konsisten. Modernisasi yang ideal adalah mengotomatisasi bagian yang repetitif dan teknis, sambil mempertahankan sentuhan tangan pada proses kreatif dan finishing.
Teknologi spesifik apa yang paling dibutuhkan oleh UKM kulit saat ini?
Beberapa teknologi yang paling berdampak antara lain: (1) Mesin jahit kulit industri untuk jahitan yang lebih kuat dan rapi, (2) Mesin potong presisi (die cutting atau laser cutting) untuk akurasi pola, (3) Software desain sederhana (CAD) untuk pembuatan pola digital, dan (4) Platform e-commerce atau media sosial untuk pemasaran langsung ke konsumen.
Apakah modernisasi akan menghilangkan lapangan pekerjaan bagi para pengrajin?
Tidak harus. Modernisasi yang tepat justru dapat menciptakan peran-peran baru dan meningkatkan nilai keterampilan pengrajin. Misalnya, seorang pengrajin tidak lagi harus menghabiskan tenaganya untuk memotong kulit secara manual, tetapi bisa lebih fokus pada proses yang membutuhkan keahlian tinggi seperti perakitan, pewarnaan detail, atau kontrol kualitas. Teknologi menjadi alat bantu, bukan pengganti.
Bagaimana cara UKM memulai proses inovasi jika modal sangat terbatas?
Inovasi tidak selalu tentang teknologi mahal. Ia bisa dimulai dari hal-hal yang tidak memerlukan biaya besar, seperti: (1) Inovasi desain dengan mencari inspirasi tren terbaru dari internet, (2) Inovasi proses dengan menata ulang alur kerja di ruang produksi agar lebih efisien, (3) Inovasi pemasaran dengan mulai mengambil foto produk yang lebih baik dan mempostingnya di media sosial, atau (4) Inovasi kolaborasi dengan bekerja sama dengan UKM lain.
Referensi
- International Trade Administration – Indonesia – Country Commercial Guide (Footwear)
- Technavio – Leather Goods Market Analysis
- International Labour Organization (ILO) – Sustaining Competitive and Responsible Enterprises (SCORE) in Indonesia
- Kementerian Perindustrian RI – Laporan tentang Sektor Manufaktur