Keberuntungan bukan sekadar nasib atau takdir. Penelitian psikolog Richard Wiseman selama 10 tahun membuktikan bahwa 'hoki' bisa diciptakan melalui 4 prinsip ilmiah: memaksimalkan peluang, menggunakan intuisi, berpikir positif, dan mengubah kesialan jadi keuntungan. Orang beruntung sebenarnya memiliki pola pikir dan perilaku khusus yang membuat mereka lebih peka menangkap kesempatan.
Pernah nggak kamu merasa ada teman yang hidupnya kok kayaknya selalu "hoki"? Pas ujian jawab ngasal tapi dapat nilai bagus, apply kerja sekali langsung diterima, bahkan jalan-jalan aja bisa ketemu jodoh. Sementara kamu? Kerja keras tapi hasilnya biasa aja.
Aku ngerasa gitu dulu. Sampai aku nemu penelitian yang bikin paradigma soal keberuntungan berubah total.
Ternyata keberuntungan itu nggak seseperti yang kita kira selama ini.
Mitos vs Fakta: Apa Itu Keberuntungan Sebenarnya?
"Wah, dia beruntung banget ya bisa sukses kayak gitu."
Kalimat itu sering banget keluar dari mulut kita. Tapi coba deh, apa sih yang kita maksud dengan "beruntung"? Kebanyakan dari kita mikir keberuntungan itu kayak lotre - random, nggak bisa diprediksi, dan cuma bisa pasrah nunggu.
Ternyata kita salah besar.
Dr. Richard Wiseman, psikolog dari University of Hertfordshire, nggak terima sama definisi keberuntungan yang "asal-asalan" itu. Dia malah penasaran: kenapa ya ada orang yang hidupnya kayak selalu diuntungkan, sementara yang lain kok kayak magnet kesialan?
Selama 10 tahun, dia riset mendalam dengan lebih dari 400 orang. Yang satu grup ngaku hidupnya selalu beruntung, yang satunya lagi mengklaim diri mereka sial terus. Dia amati pola hidup mereka, cara berpikir, bahkan sampai cara mereka jalan di trotoar.
Dan hasil risetnya? Mind-blowing banget.
Dia bikin eksperimen sederhana tapi genius. Wiseman taruh uang 5 pound sterling di trotoar depan kedai kopi. Terus dia suruh dua orang - si Martin yang merasa beruntung dan si Brenda yang merasa sial - untuk ketemu dia di kedai itu.
Hasilnya? Martin ngeliat uang itu, ambil, terus masuk kedai. Dia duduk di samping pengusaha sukses yang lagi ngopi sendirian. Mereka ngobrol, dan Martin dapet koneksi bisnis baru.
Brenda? Dia lewatin uang itu tanpa sadar. Masuk kedai, duduk sendirian, nggak ngobrol sama siapa-siapa. Pulang dengan tangan kosong.
Sama kesempatan, beda hasil.
Yang bikin mereka beda bukan nasib atau takdir. Tapi cara mereka melihat dan merespon dunia di sekitar mereka. Martin rileks, mata terbuka, siap berinteraksi. Brenda tegang, fokus cuma sama tujuannya, mata tertutup buat hal-hal di sekitar.
Itu yang Wiseman sebut sebagai "faktor keberuntungan". Bukan magic, tapi psychology.
4 Prinsip Ilmiah Menciptakan Keberuntungan
Dari penelitian panjangnya, Wiseman nemuin empat prinsip yang konsisten dipake sama orang-orang beruntung. Dan yang paling keren - semua prinsip ini bisa dipelajari.
Prinsip 1: Maksimalkan Peluang (Maximize Chance Opportunities)
Orang beruntung itu kayak radar - mereka bisa detect peluang yang nggak kelihatan sama orang lain.
Tapi gimana caranya?
Pertama, mereka network lebih luas. Bukan dalam artian "asal kenal", tapi genuine interested sama orang lain. Mereka percaya kalau setiap orang punya cerita menarik dan bisa jadi pintu peluang baru.
Contoh gampangnya: kamu lagi ngantri kopi, ketemu orang yang ngobrol soal hobi fotografi. Orang sial bakal cuma dengerin sambil main HP. Orang beruntung? Mereka ikut ngobrol, share pengalaman, dan siapa tau dapat klien foto pre-wedding baru.
Kedua, mereka terbuka sama pengalaman baru. Kalau diundang acara yang nggak familiar, orang sial bilang "ah, nggak cocok sama aku". Orang beruntung mikir "menarik nih, bisa ketemu hal baru".
Ketiga - dan ini yang paling crucial - mereka rileks. Kenapa rileks penting banget? Karena pas kita tegang dan cemas, otak kita jadi tunnel vision. Kita cuma fokus sama satu hal dan buta sama peluang di sekitar.
Wiseman buktiin ini lewat eksperimen lain. Dia kasih koran tebal ke dua grup orang, suruh hitung berapa foto yang ada di dalamnya. Yang grup "anxious" sibuk hitung satu per satu. Yang grup "relax" malah langsung nemu tulisan besar di halaman kedua: "BERHENTI NGITUNG DAN BILANG KE PENELITI KALAU KAMU LIAT INI, MENANG $250."
Grup pertama nggak liat. Grup kedua langsung claim hadiah.
Aneh ya? Padahal mereka baca koran yang sama.
Prinsip 2: Dengarkan Intuisi (Trust Your Gut)
"Kok bisa ya dia selalu tau kapan harus ambil keputusan?"
Orang beruntung punya satu kesamaan: mereka percaya sama gut feeling mereka. Bukan berarti mereka impulsif atau nggak mikir. Tapi mereka tau kapan saatnya analisis, dan kapan saatnya trust the feeling.
Warren Buffett, salah satu investor tersukses dunia, pernah cerita soal keberuntungannya ketemu CEO GEICO waktu umur 20 tahun. Dia datang ke kantor tanpa janjian, cuma ngikutin intuisi kalau dia harus datang hari itu juga. Ternyata, pertemuan itu ngubah hidupnya dan jadi fondasi empire Berkshire Hathaway.
Kebetulan? Mungkin. Tapi Buffett konsisten dengerin inner voice-nya sepanjang karir.
Gimana cara ngembangin intuisi?
Mulai dari hal kecil. Pas mau milih menu makan, jangan langsung buka aplikasi review. Rasain dulu apa yang "terasa" pengen dimakan. Pas ketemu orang baru, perhatiin first impression kamu sebelum tau background mereka.
Intuisi itu kayak otot - makin dipake, makin kuat.
Banner: Eksplorasi Lebih Dalam Rahasia Keberuntungan
Temukan lebih banyak insight tentang menciptakan keberuntungan dalam hidup dan bisnis
Prinsip 3: Ekspektasi Positif (Expect Good Fortune)
"Aku yakin semuanya akan baik-baik aja."
Kalimat sederhana itu ternyata power banget. Orang beruntung punya satu kebiasaan yang konsisten: mereka expect hal baik akan terjadi. Dan ekspektasi itu jadi self-fulfilling prophecy.
Bukan berarti mereka naive atau ignorant sama kenyataan pahit hidup. Tapi mereka percaya kalau di balik setiap challenge, ada opportunity. Di balik setiap pintu yang tertutup, ada pintu lain yang terbuka.
Penelitian neurosains nunjukin kalau ekspektasi positif literally mengubah cara kerja otak kita. Pas kita expect hal baik, otak kita jadi lebih alert buat nangkep peluang. Sebaliknya, pas kita expect hal buruk, otak kita jadi defensive dan malah buta sama kesempatan.
Contoh simpel: kamu apply kerja ke 10 perusahaan. Mindset "sial" akan bilang "pasti ditolak semua, susah banget cari kerja sekarang". Mindset "beruntung" bilang "dari 10 ini, pasti ada yang cocok sama aku".
Guess what? Yang kedua biasanya lebih cepet dapat kerja. Bukan karena magic, tapi karena attitude mereka di interview beda. Mereka confident, enthusiastic, dan nunjukin energy positif yang bikin recruiter tertarik.
Tapi gimana kalau kenyataannya emang lagi susah?
Orang beruntung nggak denial sama kenyataan. Mereka cuma lebih jago ngeliat possibility di tengah difficulty. Pandemi COVID kemarin, banyak yang ngeliat cuma masalah. Tapi ada juga yang ngeliat opportunity: bisnis online booming, remote work jadi normal, digital skill makin valuable.
Same crisis, different perspective.
Prinsip 4: Ubah Sial Jadi Beruntung (Turn Bad Luck into Good)
Ini yang paling susah tapi paling powerful: kemampuan buat transform "kesialan" jadi "keberuntungan".
Orang beruntung punya mental framework yang unik pas hadapin hal buruk. Mereka nggak denial atau pretend everything is fine. Tapi mereka punya kemampuan buat reframe situation.
Wiseman pernah kasih skenario ke responden: "Bayangin kamu lagi di bank, tiba-tiba ada perampok masuk dan nembak. Pelurunya kena lengan kamu."
Respon grup "sial": "Aduh sial banget, kenapa harus aku yang kena?"
Respon grup "beruntung": "Syukur cuma kena lengan, nggak kena vital organ. Dan aku bisa jadi saksi hidup yang bantu polisi."
Beda banget kan?
Yang satu fokus sama loss, yang satu fokus sama what could be worse dan what can be learned.
Aku pernah ngalamin sendiri. Dulu pernah gagal total di bisnis pertama. Bangkrut, down mental, merasa jadi the unluckiest person ever. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar: kegagalan itu ngajarin aku hal-hal yang nggak bakal aku pelajari dari buku atau seminar manapun.
Aku belajar soal cash flow, risk management, customer psychology - semua dari trial and error yang painful. Dan knowledge itu jadi bekal buat bisnis-bisnis berikutnya yang lebih sukses.
Kegagalan yang dulu aku anggep "sial" malah jadi "keberuntungan" terbesar dalam karir aku.
Keberuntungan dalam Konteks Indonesia
Ngomong soal keberuntungan, kita orang Indonesia punya perspektif yang unik. Ada yang percaya feng shui, ada yang percaya sama angka keberuntungan, ada juga yang percaya sama "rejeki sudah ada yang ngatur".
Dan semua itu nggak salah.
Budaya kita emang kaya sama konsep keberuntungan. Angka 8 yang dipercaya bawa kemakmuran, angka 9 yang dianggap sempurna, atau tradisi memilih hari baik buat mulai usaha.
Tapi yang menarik, prinsip-prinsip Wiseman justru align sama wisdom lokal kita.
Misalnya konsep networking. Di Indonesia, "siapa kenal siapa" itu bukan cuma culture, tapi necessity. Orang yang bisa build relationship yang baik, mereka yang biasanya lebih "beruntung" dalam karir dan bisnis.
Atau konsep "ikhtiar dan tawakal". Kita diajarkan buat usaha maksimal (ikhtiar) tapi tetap pasrah sama hasil (tawakal). Ini mirip banget sama prinsip "maximize opportunity tapi stay relaxed" ala Wiseman.
Warren Buffett story yang aku sebutin tadi? Dia ngaku kalau luck factor berperan besar dalam kesuksesannya. Tapi dia juga bilang: "The harder I work, the luckier I get." Makin keras kerja, makin beruntung.
Ini filosofi yang familiar banget buat kita: rejeki nggak akan kemana, tapi kita tetep harus jemput.
Yang penting adalah balance. Percaya sama effort, tapi nggak lupa sama faktor di luar kontrol kita. Optimistic tapi realistic. Confident tapi humble.
Eksperimen Sederhana yang Bisa Kamu Coba
Teori doang nggak cukup. Kamu perlu practice. Dan untungnya, prinsip-prinsip ini bisa dilatih mulai dari hal-hal kecil.
Eksperimen Minggu Ini:
Hari 1-2: The Networking Challenge Sapa minimal 3 orang baru. Bisa tetangga yang belum pernah ngobrol, kasir di minimarket, atau orang yang duduk di samping kamu di transportasi umum. Jangan ekspektasi apa-apa, cuma practice buat open conversation.
Hari 3-4: The New Experience Challenge Coba satu hal yang belum pernah kamu lakuin. Makan di warung yang belum pernah dicoba, ambil rute pulang yang beda, atau ikut kelas online topik yang random. Intinya, get out of comfort zone.
Hari 5-7: The Gratitude Practice Setiap malam, tulis 3 hal positif yang terjadi hari itu. Sekecil apapun. Hujan pas bawa payung, ketemu lagu bagus, atau dapet diskon nggak terduga. Train your brain buat notice good things.
Eksperimen Bulan Ini:
Join satu komunitas atau group yang align sama interest kamu. Online atau offline, nggak masalah. Yang penting kamu expose diri ke circle yang lebih luas.
Ambil satu peluang yang biasanya kamu skip karena takut atau ragu. Apply beasiswa yang menurut kamu "terlalu tinggi", ikut kompetisi yang "mungkin nggak menang", atau propose ide ke atasan yang "mungkin ditolak".
Dan yang terakhir: mulai gratitude journaling. Every single day, tulis apa yang kamu syukuri. Ini bukan cuma soal spiritual practice, tapi literal rewiring your brain buat lebih peka sama hal-hal positif.
Yang Perlu Kamu Ingat
Keberuntungan bukanlah tentang menunggu miracle. Ia tentang mempersiapkan diri buat recognize dan memanfaatkan miracle kecil yang terjadi setiap hari.
Orang beruntung bukan yang hidupnya tanpa masalah. Mereka yang bisa transform masalah jadi peluang, kegagalan jadi pembelajaran, dan uncertainty jadi adventure.
Most importantly: keberuntungan adalah skill yang bisa dipelajari. Sama kayak skill lainnya, butuh practice, consistency, dan patience.
Jadi mulai sekarang, berhenti bilang "aku nggak beruntung". Mulai bertanya: "gimana cara aku bisa lebih beruntung?"
Because luck isn't something that happens to you. It's something you create.
Jadi, keberuntungan itu nggak semacem lottery. Ada ilmunya. Ada patternnya.
Orang yang hidupnya "hoki" sebenarnya cuma lebih jago ngeliat peluang. Mereka berani ambil risiko. Nggak gampang nyerah. Dan yang paling penting - mereka percaya kalau kebaikan akan datang.
Keberuntungan adalah skill. Kayak skill lainnya, bisa dipelajari.
Bisa dilatih. Bisa dikuatin.
Tinggal sekarang: kamu mau tetap nunggu "nasib", atau mulai bikin keberuntungan sendiri?
Kalau kamu merasa artikel ini membuka perspektif baru soal menciptakan keberuntungan, ada banyak insight lain yang bisa kamu eksplorasi. Kadang, satu perubahan kecil dalam mindset bisa mengubah trajectory hidup kamu secara fundamental.
Referensi:
- Wiseman, Richard. "The Luck Factor: Changing Your Luck, Changing Your Life"
- Penelitian University of Hertfordshire tentang psikologi keberuntungan (1993-2003)
- Studi kasus Warren Buffett dan faktor keberuntungan dalam investasi
- Analisis budaya keberuntungan dalam konteks bisnis Indonesia