Waktu luang itu aneh. Kadang ditunggu, kadang tak tahu harus diapakan. Tapi justru di situlah, di sela-sela hari yang melambat, kita bisa mendengar ulang diri sendiri. Pagi itu, aku membawa beberapa jurnal kulit buatan tangan dari Hibrkraft. Tidak ada tujuan muluk. Hanya ingin duduk di bawah bayangan pohon, membiarkan waktu lewat sambil memegang sesuatu yang nyata. Kulitnya merah, hitam, tan. Semua terasa hangat di tangan, seperti teman yang tak banyak bicara tapi hadir penuh. Aku duduk di rerumputan tinggi. Angin malas bergerak. Kamera ku letakkan di samping. Di tanganku, sebuah jurnal kulit tan dengan grid putih di dalamnya. Aku membukanya perlahan. Tak ada agenda, tak ada target. "Aku ngga tau mau nulis apa," tulisku di halaman pertama. Dan itu cukup. Karena pagi itu, tidak ada yang menuntutku untuk berguna. Aku hanya perlu ada.
Tangan, Kulit, dan Tekstur Waktu
Kulitnya halus, tapi ada guratan. Benangnya menonjol, memberi tekstur pada punggung jurnal. Paku keling emas kecil di ujungnya memantulkan cahaya. Kamu bisa lihat di foto—tapi yang tak bisa dilihat adalah aroma kulitnya. Atau suara gesekan antarlembar saat dibuka perlahan. Rasanya seperti menulis di atas waktu. Di era di mana semua orang mengejar efisiensi, ada kenikmatan tersendiri saat menulis tanpa tujuan. Aku menggambar kotak. Menulis ulang satu kata berkali-kali. Bahkan menulis sesuatu yang aku sendiri tidak tahu maksudnya. Dan entah bagaimana, aku merasa damai. Merah menyala. Hitam misterius. Tan natural. Jurnal-jurnal itu seakan punya karakter. Merah untuk keberanian. Hitam untuk renungan. Tan untuk kembali ke akar. Aku bawa semuanya hari itu, hanya untuk disentuh satu per satu. Dipilih berdasarkan rasa. Pernahkah kamu merasa memilih jurnal seperti memilih teman bicara? Saat kamu punya waktu, dan tidak ada tekanan... tulisan menjadi lebih jujur. Tidak sempurna, tapi mengalir. Tidak hebat, tapi utuh. Aku menulis hal remeh. Tapi aku juga merasa ditemani. Seolah jurnal itu bukan sekadar benda, tapi ruang kosong yang bersedia mendengarkan. Di zaman di mana semua serba digital, membawa jurnal fisik mungkin terlihat repot. Tapi justru itu yang menyelamatkanku dari distraksi. Tidak ada notifikasi. Tidak ada scroll. Hanya halaman kosong yang menunggu diisi. Dan ketika kamu menulis dengan tanganmu sendiri, kamu sedang mengikatkan dirimu pada momen itu. Pada dirimu sendiri.
Penutup: Dalam Diam, Kita Bertemu Diri Sendiri
Diam.
Pelan.
Apa adanya.
Tanpa layar, tanpa target.
Tanpa harus berguna. Dan di situ aku sadar: bukan jurnalnya yang penting, tapi bagaimana ia mengizinkan kita menjadi manusia. Langkahku ringan saat pulang. Bukan karena banyak tulisan yang dihasilkan, tapi karena aku diberi ruang untuk diam. Untuk hadir. Dan mungkin... itu yang selama ini kita cari.Kalau kamu ingin tahu rasa dari waktu yang lambat, mulai saja dengan satu jurnal kulit.Pesan/Custom: +6281511190336