Kenapa Nulis Pakai Tangan Bisa Bikin Kamu Lebih Pintar (Dan Tenang)
Studi 2018 tunjukkan nulis tangan tingkatkan fokus & nilai ujian. Apakah ini cara belajar yang kamu cari?

TL;DR: Mahasiswa yang mencatat pakai tangan rata-rata dapat nilai ujian 3.5% lebih tinggi dibanding yang pakai laptop. Mereka juga merasa lebih fokus, jarang terdistraksi, dan catatannya dianggap lebih berguna. Ini bukan soal nostalgia, tapi soal bagaimana otak kamu bekerja saat mencatat.

Kenapa Nulis Pakai Tangan Bisa Bikin Kamu Lebih Pintar (Dan Tenang)

Kamu pikir kamu multitasker. Bisa ngetik sambil dengerin dosen, sambil buka WhatsApp, sambil kepikiran makan siang. Tapi hasilnya? Otakmu kayak Google Chrome dengan 37 tab kebuka—panas, lambat, dan gak fokus. Dan masalahnya bukan cuma itu. Ketika kamu membiasakan diri berada dalam kondisi itu, kamu sebenarnya melatih otak untuk selalu kabur dari satu fokus ke fokus lain. Kamu jadi terlatih untuk tidak tahan dalam ketenangan.

Sebuah studi di Touro University California (Desselle & Shane, 2018) nunjukin hal yang bikin banyak mahasiswa harus mikir ulang soal caranya belajar: mahasiswa yang mencatat dengan tangan, tanpa laptop, punya nilai ujian rata-rata 3.5% lebih tinggi. Dalam dunia akademik, 3.5% itu bukan angka kecil. Itu bisa jadi beda antara lulus dan ngulang. Lebih penting lagi: itu bisa jadi indikator kalau kamu bukan gak pinter, tapi cuma salah metode.

Bukan cuma soal nilai. Mereka juga lebih fokus, catatannya dianggap lebih bagus, dan... mereka lebih tenang. Kayak ngerasain ruang hening di tengah kebisingan notifikasi dan tab-tab digital yang gak ada habisnya. Dan ketenangan ini penting, karena belajar butuh ruang batin yang stabil. Tanpa itu, kamu cuma memindahkan informasi tanpa pernah menginternalisasinya.

Nulis Verbatim Itu Kayak Jadi Mesin Fotokopi

Masalah laptop bukan cuma distraksi. Tapi cara kamu ngetik juga berpengaruh. Banyak mahasiswa yang ngetik semua kata dari dosen kayak stenografer. Hasilnya: mereka punya catatan yang panjang... tapi gak bermakna. Kamu punya dokumen, tapi gak punya pemahaman. Dan yang lebih parah, kamu merasa udah 'belajar' hanya karena kamu punya catatan lengkap.

Mueller & Oppenheimer (2014) nunjukin bahwa nulis tangan bikin kamu lebih selektif. Kamu nggak bisa dan nggak akan nulis semuanya. Kamu harus milih. Harus ngerti dulu, baru nulis. Itu bikin kamu aktif secara kognitif. Proses ini, walaupun kelihatan lebih lambat, justru bikin kamu lebih cepat paham dan lebih lama inget.

Dan di situ otak mulai kerja. Mulai mikir. Mulai paham. Kamu mulai bikin asosiasi. Mulai nyambungin satu konsep dengan pengalaman atau ide sebelumnya. Itu inti dari belajar yang sebenarnya: bukan menghafal, tapi membangun jaringan pemahaman.

Belajar itu bukan soal ngumpulin data. Tapi soal merakit makna dari data itu. Dan proses memilih kata saat menulis tangan bikin kamu terlibat lebih dalam, secara mental. Tulisan tangan punya ritmenya sendiri. Dan ritme itu seringkali nyambung dengan cara otak memproses informasi.

Laptop = Distraksi Tanpa Akhir

Ngaku aja: kamu pernah buka Shopee, scroll Twitter, atau buka catatan mata kuliah lain waktu dosen lagi jelasin soal sistem kesehatan. Kamu bahkan gak sadar kapan kamu mulai buka tab lain. Tiba-tiba aja udah ada di feed explore. Satu notifikasi kecil bisa bikin kamu hilang arah selama 10 menit, dan 10 menit itu bisa merusak konteks utuh dari satu sesi belajar.

Siswa di studi ini yang pakai laptop ngaku lebih gampang terdistraksi, lebih sering buka internet, dan bahkan terganggu sama suara ketikan temen. Mereka ngerasa sulit fokus. Dan semakin lama mereka pakai laptop, semakin lelah juga mereka secara mental, karena terus-menerus berada dalam mode 'waspada' terhadap distraksi.

Longhand note takers? Mereka bilang: "Gue lebih fokus. Gak tergoda buka apa-apa." Karena begitu kamu buka laptop, kamu membuka pintu ke seluruh dunia. Tapi waktu kamu buka jurnal dan pena, kamu hanya membuka satu dunia: dunia belajar.

Dan ini bukan cuma soal disiplin pribadi. Tapi tentang bagaimana perangkat digital didesain—buat menarik perhatian, bukan menjaga fokus. Kamu bukan gagal fokus karena lemah, tapi karena alat yang kamu pakai memang dirancang untuk itu.

Nulis Tangan Itu Aktif, Bukan Pasif

Bayangin kamu lagi dengerin kuliah tentang farmakologi. Kamu ngetik semua yang dibilang dosen, tapi pas baca lagi, kamu bingung. Ini maksudnya apa, sih? Karena kamu cuma jadi stenografer, bukan pelajar. Kamu jadi saksi, bukan peserta.

Beda kalau kamu nulis tangan. Kamu bikin ringkasan. Bikin diagram. Gambar panah. Tulis ulang dengan kata-katamu sendiri. Otak kamu nggak cuma merekam, tapi memproses. Bahkan terkadang kamu menciptakan cara baru untuk menjelaskan konsep ke diri sendiri. Dan itu yang bikin konsep nempel.

Mahasiswa yang nulis tangan lebih sering pakai spatial strategies—gambar, mind mapping, atau highlight manual. Ini bukan cuma soal estetika. Ini cara otak mengorganisir informasi. Kamu bukan sekadar menyimpan data. Kamu sedang membangun struktur pemahaman di dalam kepala kamu sendiri.

Dan hasilnya? Informasi lebih lengket di kepala. Bahkan ketika kamu cuma ngeliat coretan-coretan warna, kamu bisa langsung inget suasana kelas, gaya ngomong dosen, bahkan perasaanmu saat itu.

Beberapa bahkan bilang catatan tangan mereka lebih sering dipinjam temen. Bukan karena bagus, tapi karena lebih gampang dipahami. Karena ketika kamu mencatat sambil mikir, catatanmu jadi punya 'nyawa'.

Tapi Nggak Semua Harus Sama

Sekarang pertanyaannya: berarti laptop harus dilarang?

Nggak juga. Dunia gak sehitam-putih itu. Beberapa mahasiswa tetap lebih nyaman pakai laptop. Mereka bisa ngetik cepat, lebih suka nyari file digital, atau punya alasan aksesibilitas. Ada juga yang terbiasa visual: lebih paham kalau lihat warna, slide, atau diagram langsung dari layar.

Dan itu valid. Ini bukan tentang anti-teknologi. Ini tentang ngerti batas dan keunggulan masing-masing alat. Karena alat itu netral. Yang bikin beda adalah cara dan niat kita menggunakannya.

Tapi studi ini kasih satu hal penting: bahwa belajar itu sangat personal. Longhand bisa bantu sebagian orang, terutama yang sering terdistraksi, yang ngerasa belajar nggak masuk-masuk, atau yang ingin lebih engage secara mental.

Bukan tentang mana yang lebih keren. Tapi mana yang bikin kamu beneran belajar. Kalau laptop bikin kamu sibuk tapi nggak ngerti, maka itu bukan alat yang bantu. Itu alat yang nyeret kamu pelan-pelan keluar dari fokus.

Hadir Penuh di Dalam Kelas

Nulis tangan bikin kamu lebih hadir. Gak bisa multitasking. Gak bisa pura-pura. Kamu harus ada di situ. Dengerin. Nulis. Ngerti. Kamu jadi bagian dari percakapan, bukan sekadar pengamat.

Beberapa mahasiswa yang ikut studi bilang mereka jadi lebih tenang. Gak harus mikirin typo. Gak panik soal WiFi. Gak terganggu suara klik-klik dari temen sebelah. Mereka ngerasa lebih utuh sebagai pelajar.

Dan yang paling penting: mereka inget lebih banyak waktu baca ulang catatan. Karena catatan itu bukan sekadar teks. Tapi jejak pengalaman belajar.

Karena saat kamu nulis sambil mikir, kamu bukan cuma nyimpen kata-kata di kertas. Kamu nyimpen makna di otak. Dan kadang, satu halaman coretan bisa lebih berharga dari 10 halaman transkrip kalau kamu beneran hadir saat menulisnya.

Kamu Mungkin Cuma Butuh Nyoba

Pernah gak kamu mikir: kenapa kamu tetap pakai cara belajar yang sama, padahal kamu tahu itu gak efektif? Kenapa kamu terus berharap hasil berbeda dari metode yang sama?

Kamu beli buku bagus. Beli alat tulis mahal. Tapi masih ngerasa kosong waktu ujian. Kamu buka ulang catatan, tapi kosong. Seperti nyari makna di arsip.

Coba deh, satu minggu aja. Pilih satu mata kuliah. Taruh laptop. Ambil buku tulis dan pulpen. Duduk di depan. Dengarkan. Rasakan tulisanmu sendiri membentuk pengertian.

Rasain ritmenya. Rasain bedanya. Lihat seberapa banyak kamu bisa inget, bukan karena kamu baca ulang, tapi karena kamu beneran nyimpen waktu nulis. Karena kamu hadir sepenuhnya.

Dan siapa tahu, kamu gak cuma dapat nilai lebih baik. Tapi juga ngerasa lebih tenang. Lebih terkoneksi dengan pelajaran. Lebih hadir.

Belajar bukan soal cepat. Tapi soal dalam. Bukan tentang ngumpulin bahan. Tapi tentang meresapinya. Bukan sekadar tentang lulus, tapi tentang paham.

Dan kadang, perubahan paling sederhana—seperti kembali ke pulpen dan kertas—bisa jadi lompatan terbesar buat pikiranmu. Mungkin kamu gak perlu jadi lebih pintar. Kamu cuma perlu diam sebentar, dan mulai menulis.


Referensi Penting:

  • Desselle & Shane. (2018). Laptop Versus Longhand Note Taking in a Professional Doctorate Course. Innovations in Pharmacy, 9(3). Link PDF
  • Mueller & Oppenheimer. (2014). The Pen is Mightier Than the Keyboard. Psychological Science.
  • Kay & Lauricella. (2016). Laptop Use in Higher Education. Journal of Computing in Higher Education.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *